Saturday, January 26, 2013

Di Bawah Bulan - Bagian Ketiga





"Kamu lebih cocok jadi cucu dari nenekku ketimbang aku sendiri" ia menoleh dengan tatapan penuh tanya kearahku. Aku hanya terdiam sesaat dan tersenyum kearahnya. Kami sedang membuat bubur sumsum. Makanan yang sangat disukai Bu Mestika. Yang sekaligus sangat baik untuk kesehatan pencernaannya.

"Kenapa kamu tidak pernah memanggilnya dengan sebutan nenek?"
"Karena beliau tidak pernah meminta" jawabku kemudian.
"Kamu lain"
"Lain apa?"
"Sangat santai sekaligus peduli terhadap segala hal" aku berhenti sejenak untuk mengiba. Tanpa sadar pasti pipiku sudah memerah karena malu. "Maaf merepotkan, hanya saja pasti nenekku sangat senang jika memiliki cucu sepertimu"
"Tanpa harus menjadi cucu nya pun aku akan tetap membantunya" ujarku lirih.

Sisa sore itu kami habiskan dengan berbincang-bincang. Dan aku akan memandang ke arah lain jika merasa ia menyanjungku. Menghindari tatapannya yang seakan geli melihat pipiku yang merah padam. Fardan berkata bahwa ia sedang menunggu masa wisudanya dengan tinggal di desa yang sarat dengan cerita orang tuanya yang pernah tinggal disini. Mengenai orangtuanya yang menjadi anak angkat Bu Mestika dan Pak Zakir, Fardan berkata bahwa telah lama sekali keluarga mereka menetap di kota. Ibunya telah meninggal dan merupakan anak angkat dari Ibu Mestika. Sejak menikah, ibunya tidak pernah kembali ke desa ini. 

Melainkan sekarang anaknyalah yang mengunjungi neneknya kemari. Itupun karena satu hal, ia mendapatkan tawaran pekerjaan di kantor dinas pertanian di daerah kami. Dengan tanpa sengaja ia hendak mencari orang tua angkat ibunya yang tinggal di desa ini. Ia berkata pula bahwa mungkin akan menetap di desa ini jika tawaran pekerjaan yang datang padanya ia terima.

Aku pasti memimpikan fiksi. Jika ternyata hal yang kemarin terjadi adalah bukan kenyataan, maka aku memilih untuk bermimpi dalam setiap nafas fiksi yang terjadi.
***

Mungkin entah langit di setiap malam yang akhir-akhir ini terlihat selalu cerah dengan dihadiri bintang, atau angin semilir yang tengah datang disetiap kunjunganku ke padang ilalang, bahkan hujan yang turun secara perlahan di setiap kala. Dan garis lengkung menandakan senyuman yang sering terjadi pada bibirku. Atau kupu-kupu yang kau rasa terbang kian kemari didalam perutmu. Jika memimpikinnya saja dapat membuatmu bahagia, aku pasti benar-benar tertidur dan terbangun lagi di dalam dunia fiksi. Rasanya setiap hari mulai hari itu seperti bukan kenyataan, namun tiap kali aku tersadar dan berdo’a, semuanya adalah kenyataan. 

Aku dapat menemui setiap orang yang bahkan ingin kutemui, tersenyum terhadap hal-hal sepele, atau bahkan menertawakan hal yang kurang lucu. Aku mungkin gila, gadis gila yang tinggal didalam dunia fiksi. Aku mencubit pipiku sendiri saat kutemukan diriku mulai berjalan salah arah melewatkan jalan menuju rumah. Dan tertawa begitu keras sesampainya dirumahku. Rumah yang sepi seperti biasanya, tanpa ada suara yang dapat timbul kecuali yang dibuat oleh aktivitasku, hari ini aku akan mengunjungi kediaman Ibu Mestika. Nenek. Aku memanggilnya nenek sejak dua minggu lalu aku merawatnya, ia sendiri yang meminta. Akupun tidak tahu mengapa, yang pasti saat aku tanyakan hal tersebut pada Fardan, ia benar tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Begitulah aktivitasku selama dua minggu ini, sehabis rutinitasku, pasti aku akan mengunjungi rumah nenek yang dekat saja, karena memang bersebelahan dengan rumahku.

Seminggu sejak keadaan nenek pulih dan sehat seperti semula, mulai sejak itu kami melakukan berbagai rutinitas seperti biasanya bertahun kami lakukan sejak kakek dan nenekku meninggal. Namun kali ini, bertambah satu anggota lagi, yaitu Fardan. Disela-sela aktivitasnya membangun sebuah taman di belakang rumah nenek, ia selalu membantu kami membuat berbagai makanan atau bahkan terkadang memperhatikan nenek membuat sulaman namun tidak pernah mau untuk membuatnya sendiri. Nenek pun kini lebih sering tertawa, begitu juga aku, yang frekuensi tersenyumnya kian bertambah. Entah mengapa jika aku tidak memiliki perasaan pada Fardan pun rasanya aku akan tetap senang melihatnya tinggal di desa ini. Mengenai persaanku padanya pun, masih dan tidak akan pernah ada yang tahu selain aku. Aku benar-benar tidak pernah membicarakan mengenai perasaanku pada siapapun sampai saat ini. Aku terlalu takut, dan terlalu sungkan untuk menerka bahwa ia pun memiliki perasaan yang sama denganku. Walaupun hampir setiap hari kami selalu bertemu. Aku tidak dapat menerjemahkan hal-hal baik yang ia lakukan padaku merupakan hal yang lebih dari sekedar batas lumrah. Maka tanpa memikirkannya pun segalanya berjalan seperti semestinya, seperti seharusnya yang terjadi sesuai rasa engganku untuk ketahuan perasaanku olehnya.

Namun sekarang, Ia tertawa setiap kali aku melakukan kesalahan. Dan aku akan dibela nenek walaupun ia melihat kecerobohanku. Aku sama sekali tidak mengira menyukainya akan semenyenangkan ini. Kadang kami akan bertukar pembicaraan atau sekedar bertukar lelucon konyol yang membuatnya tertawa setelah tiga detik kemudian. Rasanya segalanya terasa lebih mudah di siang hari saat kami bertemu. Ketimbang mimpi malam hari yang sering melandaku dan keadaan penuh peluh dan rasa cemas ketika bangun. Tapi tidak apa-apa, sepanjang apa yang kulakukan di siang hari menyenangkan. Sebenarnya aku takut untuk tidur. Karena setiap kali aku tidur aku akan memimpikan hal yang sama, bayangan yang menggambarkan masa lalu atas perginya ayahku yang belum kembali. Bayangan yang sangat kurindukan namun tergambar sebagai mimpi buruk yang menghantui. Satu satunya bayangan manusia yang sangat kurindukan karena dengan keberadaannya akan membuatku sadar bahwa di dunia ini aku tidak sebatang kara. Namun untuk pertama kalinya diantara mimpi-mimpi statisku, selama berminggu-minggu aku tidak memimpikan ayah. Aku memimpikan fardan . Yang entah kenapa mampir ke dalam lamunan semu hampir di setiap malam yang ku lalui.


****
hana zm Web Developer

Friday, January 25, 2013

Di Bawah Bulan - Bagian kedua


“Fardan” serunya memperkenalkan diri, tanpa menawarkan tangannya untuk disalami. Karena kedua tangannya sibuk mencari cari sesuatu didalam tas yang tengah ia pegang.
“Aruna”
“Apa?”
“Namaku Aruna” seruku lebih keras.
“Namamu.. ”
“Baru pertama kali dengar? Atau masih asing?” tanyaku tersenyum, hal biasa yang aku hadapi sejak kecil. Awalnya mereka asing dengan namaku. Namun karena aku tidak pernah pergi dari desa ini, pasti mereka tidak asing lagi dengan namaku. Kecuali pemuda di depan ku yang satu ini.
”Bukan, aku biasa mendengar tentang dirimu dari nenekku, tapi terasa berbeda saat kamu yang menyebutnya” serunya. Aku tidak mengerti apa maksudnya, aku hanya tersenyum sewajarnya. Dan kembali terdiam menghadap hujan untuk berhenti. Sempat hening, mungkin sebenarnya aku yang giliran berbicara, karena aku yang terakhir diberi pernyataan. Tapi aku terlalu kalut untuk mengatakan sesuatu. Ini jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan saat mengajar atau bersosialisasi dengan warga desa. Sangat sulit.
“Aruna” katanya lagi. Aku hanya menoleh padanya, sulit untuk terfokus memandang kearahnya, apalagi saat terasa ada kupu-kupu di dalam perutmu yang menggelitik untuk keluar setiap kali mendengarnya menyebut namamu.”Hujan sudah agak reda, ayo kita kembali” sahutnya.
***

Terdiam melihat ranting yang patah terinjak, tergeletak ditengah padang rumput lembap. Sudah dua hari sejak terakhir kali aku bertemu Fardan di ujung jalan yang diguyur hujan. Saat itu aku sampai dirumah dengan penuh rasa heran, heran karena saat ia mengajakku beranjak pergi dari sana, ternyata ia membawa payung. Payungku. Entah dari mana ia mendapatkannya. Aku hanya mengerjap melihatnya membentangkan payung itu, berbagi payung denganku. Pada keheningan hujan yang konstan tanpa percakapan manusia. Sampai akhirnya di depan rumahku, ia menyerahkan payung itu seraya berkata “Payung ini sepertinya terjatuh dijalan saat kau pergi, aku menunggumu di jalan tadi karena aku pikir kalau kau pulang pasti lewat sana”. Jelasnya, setelah berterimakasih dan ia pun berpamitan, aku menyentuh perutku yang menahan kupu-kupu yang ingin keluar. Jadi, cucu Ibu Mestika yang tinggal di kota ini, membantu neneknya di desa membelikan sayuran ke pasar dengan pulang pergi berjalan kaki, menemukan sebuah payung dengan tag-name ‘Aruna’ dan menungguku pulang di seberang jalan tanpa menggunakan payung itu untuknya sendiri. Ajaib, bukan ?
***

Jika di dunia ini manusia dapat menghitung seluruh bintang di alam semesta, atau melakukan teleportasi dengan sekejap mata, tentu manusia tidak akan berusaha keras untuk mendapatkan sebuah kesempatan. Kalau saja di dunia ini manusia diberi kemauan sedapat-dapatnya. Tentu tidak akan ada sebuah koinsidensi bernama 'kebetulan'. Daya pikir manusia berawal dari melihat suatu hal yang kecil terlebih dahulu. Seperti disaat sebuah 'kebetulan' datang, manusia akan berpikir bahwa disaat kau menemukan seorang yang berarti untukmu, itulah yang dinamakan 'kebetulan'. Tanpa peduli mungkin yang sang pencipta maksud adalah 'takdir'

Jika kapasitas manusia hanyalah berharap, maka segala yang dapat terjadi adalah kuasa tuhan.

Aku menyerah akan apa yang tuhan karuniakan padaku, sehingga tanpa kusadari rasa yang kumiliki terasa sakit tak berarah.

Aku menyukai dia, tanpa ada yang menyadari, satu-satunya yang menyadari perasaanku padanya hanyalah rasa rendah diriku. Rasa rendah diriku terlalu menguasai diriku sehingga mengungkapkan hal yang sesungguhnya kurasakan adalah mustahil.

Fardan datang ke desa ini tanpa ada yang tahu alasannya kenapa. Berbagai berita yang simpang siur wara-wiri di desa hanyalah bahwa pemuda ini menghabiskan waktu liburannya dengan mengunjungi neneknya.

Mungkin beberapa orang tidak peduli dengan alasan tersebut. Karena berapa lamapun ia tinggal disini, sama sekali tidak menjadi masalah untuk warga desa. Mereka menyukai cucu Ibu Mestika itu. Fardan mudah bergaul dan dapat bercakap-cakap dengan siapa saja.  Tanpa sadar ia telah menghabiskan satu bulan 'liburan' nya di desa ini.

Aktivitasnya di desa yang belum berkembang seperti kebanyakan warga di desa membuatnya memiliki banyak waktu luang. Di sore hari jika tidak hujan ia akan keluar melihat anak-anak bermain di lapangan. Kadang aku melihatnya bermain bersama anak-anak. Suatu pemandangan asing di desa kami, mengingat hanya segelintir kawula muda saja yang ada di desa ini. Seperti yang pernah kubilang, bahwa orang orang seusia remaja di desaku sudah pergi ke kota untuk mencari mata pencaharian yang menurut mereka lebih baik dari pada bertani.

Sehingga memiliki orang dewasa yang mengajak anak-anak bermain bersama adalah sebuah kegembiraan bagi mereka.

Tanpa sadar aku merasa kesepian.

Untuk pertama kalinya aku dapat merasakan rasa bahagia saat dapat menemui orang yang kau sukai setiap harinya. Namun kesepian. Karena aku selalu menghindar darinya setiap saat, melihat tawanya dari kejauhan dan merasa lega saat menyadari aku tidak ketahuan sedang memperhatikannya. Aku melakukannya semata-mata untuk kebaikan semua orang.
Aku menyukai Fardan.

Begitu juga setiap gadis yang masih ada di desa ini. Setiap gadis berlomba untuk mendapatkan perhatiannya, setiap hari. Aku bukannya mengaku lebih rendah dari mereka. Kurasa kami berada di lingkungan yang sama, tumbuh dewasa bersama-sama yang membedakan hanyalah silsilah keluargaku yang tidak murni berasal dari desa ini. Dan keadaanku yang kini. Sebatang kara.

Gadis-gadis di desa tentu mendapat segala dukungan dari ayah dan ibu mereka untuk mendapatkan simpati Fardan. Segala hal. Aku bahkan pernah memergoki Ibunya Indri membeli banyak sekali perangkat kosmetik, aku tahu itu bukan untuknya. Tapi untuk Indri. Indri sahabat sejak kecilku yang sama sekali tidak pernah senang menggunakan pakaian layaknya anak perempuan. Aku tahu persis hal itu. Namun siapa sangka, jika cinta mengetuk segalanya akan berubah, dan aku tahu bahwa setiap sahabat wanitaku di desa ini telah jatuh cinta padanya. Fardan.

"Aruna" aku mendongak melihat orang yang sedang berdiri di depanku. Untuk sesaat wajahnya tidak jelas terlihat karena bias matahari yang pekat ditengah siang. Fardan. Aku segera menyimpan parang yang sedang kupakai untuk mencabut rumput di kebunku dan langsung berdiri.
"Ya ?" sahutku. Aduh, bisakah lebih dari sekedar ya?
"Nenekku demam dan tidak mau makan, bisa kau bujuk dia?"
Aku mengerutkan dahi dan langsung menuju ke rumahnya tanpa berkata apapun lagi. Jadi itu alasannya mengapa Bu Mestika tidak keluar rumah sejak kemarin. Aku marah padanya. Kalau memang Bu Mestika sakit kenapa Fardan tidak bilang dari kemarin? Pikirku cucunya ini dapat menangani keluhan sakit neneknya ini.

Aku menyentuh dahi Bu Mestika, panas. Ia menggigil dalam selimut tanpa sadar bahkan untuk melihatku datang mengunjunginya. Sebelum Fardan datang ke desa ini aku biasa menghabiskan waktu bersama Bu Mestika. Ia sudah seperti nenekku sendiri. "Bu Mestika hanya butuh istirahat. Makan makanan yang mudah dicerna, dan mandi air hangat setiap kali ingin mandi" celotehku pada Fardan. Aku menjelaskan banyak hal pada Fardan tentang kondisi fisik Bu Mestika. Kami sempat mengambil beberapa tanaman obat untuk dicampur dengan air mandi nantinya. Aku juga sempat menjelaskan banyak hal tentang tanaman obat yang ada di halaman depan rumahku untuk dimanfaatkan sebagai berbagai obat tradisional.

"Kamu lebih cocok jadi cucu dari nenekku ketimbang aku sendiri" ia menoleh dengan tatapan penuh tanya kearahku. Aku hanya terdiam sesaat dan tersenyum kearahnya. Kami sedang membuat bubur sumsum. Makanan yang sangat disukai Bu Mestika. Yang sekaligus sangat baik untuk kesehatan pencernaannya. 

_Bersambung

hana zm Web Developer

Thursday, January 24, 2013

Di Bawah Bulan






Mengapa warna langit tidak hijau? mengapa harus biru? mengapa malam itu gelap pada awalnya, dan benderang pada akhirnya?
Namun ajaibnya aku tetap menyukai hal tersebut tanpa harus tahu mengapa semua hal tercipta seperti itu.
***

Duniaku berkisar di sebuah desa nan jauh dari perkotaan, duniaku penuh dengan bintang dalam arti sebenarnya, malamku beredar dengan kerlip melimpah, terlihat jelas bagai perhiasan di kalung sang malam. Duniaku sepi tanpa hingar bingar kendaraan, tanpa kelap kelip lampu menara pemancar sinyal, yang ayahku bilang desa ini perlu  semua hal itu untuk dapat ‘terjangkau’ dari luar daerah tempat kami tinggal.

Aku suka tinggal di sini, saat sebagian besar dewasa muda seumuranku berusaha mencari mata pencaharian yang lebih baik dengan pergi keluar desa, aku lebih suka disini, melihat malam dengan mata telanjang, melihat pagi dengan mata kesilauan akan cahaya matahari, tanpa ada aling-aling gedung kecuali hamparan luas padang ilalang terbentang.

Aku percaya aku bukan sebatang kara, kakek dan nenekku telah bertahun meninggal, begitu pula ibuku, namun ayahku yang tinggal di kota kadang menjengukku ke sini. Di desa yang sangat beliau benci, desa yang manakala saat berkunjung kemari selalu ia keluhkan masalah sinyal dan jambannya. Berkali ia memintaku pindah, pindah ke tempat tinggalnya dikota, kota asing yang sama sekali tidak aku ingat walaupun aku dilahirkan disana. Kini penduduk desa pikir aku sendirian, aku sebatang kara, sejak ayahku tidak pernah kemari lagi, itupun 4 tahun lalu.
Aku sama sekali tidak mendapat kabar tentang ayahku sejak saat itu, aku tahu bahwa ayahku tinggal dikota, aku tahu alamatnya, ayahku pernah menyimpan alamat tempat tinggalnya di samping meja tidurku sebelum beliau pergi. Namun aku tidak mau, aku tidak mau mencarinya, bukannya aku takut tersesat jika kesana, aku hanya takut sebagian mimpi terburuk tentang ayahku terwujud saat aku kesana.

Bertahun rasioku berkecamuk dengan perasaanku, untuk pergi atau tidak pergi ke tempat ayahku, Namun ayahku tidak pernah memaksaku kesana, walaupun ia pernah memintaku untuk tinggal bersama keluarganya. Semakin memikirkannya aku semakin sedih, karena mengingat betapa sedikitnya hal yang aku ketahui tentang ayahku.

Hal tersebut berbanding 1:10000 jika dibandingkan dengan pengetahuanku tentang desa ini. Aku mencintai tempat ini, lebih dari apapun sekarang, entah desa ini membawaku ke mana, namun desa ini tidak mengingatkanku tentang masalalu, karena sejak kecil yang kuanggap sebagai masalalu pun tetap menjadi masa sekarang, aku tidak pernah berpindah tempat dari desa ini, hal aneh namun memikat yang bahkan membuatku heran karena mampu memerintahku dan melupakan segala dilema yang ada untuk pergi menemui ayahku di kota.

Tidak ada satu hal pun yang dapat menggangguku untuk segala hal yang dapat aku miliki tentang desa ini. Kini aku mengabdi pada desa ini, dipagi hari aku akan melihat banyak orang beramai-ramai pergi ke ladang, anak-anak beramai-ramai menuju ‘gubuk’ yang kami jadikan sarana, dan di sore hari aku akan melihat anak-anak berlarian menyelamatkan diri dari rintik hujan yang kian menderas dibawah pelepah daun pisang menuju rumah mereka masing-masing. Aku seorang guru.

Aku mencintai desa ini, dengan semua hal yang ada didalamnya. Rumput ilalang yang kian tinggi, ladang yang kian ranum buah-buahannya, sawah yang kian menguning, dan sungai yang kian indah percik airnya. Begitu juga dengan penduduknya, yang selalu tersenyum dan bertegur sapa saat hari cerah dan tidak hujan. Dan bintang.

Segalanya. Sampai hati dan jiwa ini hilang diri mungkin raga ini hilang kendali. Hanya karena bertemu dengan dia. Dia yang bahkan bukan berasal dari desa ini. Bukan orang dengan profesi serupa denganku. Mengalihkanku akan bintang nan indah setiap malam, atau lembut rumput ilalang yang kian kering di hangat senja.

Kepala desa bilang ia kemari untuk merawat Bu Mestika, Ibu Mestika sudah tua, usianya hamper sepertiga abad, sepengetahuanku Ibu Mestika tidak perlu di tunggui setiap harinya, ia masih sehat di usia senja.  Ia tetanggaku yang paling dekat, Ibu Mestika sangat akrab dengan keluargaku. Sampai Kakek kemudian nenekku meninggalpun Bu Mestika lah yang selalu menemaniku. Sehingga aku seperti sekarang, gadis yang masih lajang, dan belum tahu dengan siapa ia seharusnya. Sampai aku bertemu dengannya.

Aku sendiri tidak pernah tahu jika Ibu Mestika memiliki seorang anak, apalagi cucu, yang membuat pengetahuanku tentang keluarga Ibu Mestika selesai sampai disitu, bahwa Ibu Mestika tidak punya keluarga, mungkin empat bulan lalu aku dapat menemani Ibu Mestika yang sebatang kara. Aku dan seorang wanita tua yang sama sekali tidak merepotkan hidup bersama-sama, dua orang wanita terpaut usia yang sebatang kara namun hidup berdampingan. Dan kepahitan dunia tidak akan menjadi masalah apapun bagi kami. Membayangkannya saja membuatku tersenyum, pikirku aku memiliki seorang teman untuk menjalani hidupku yang indah ini.

Sampai ada dirinya, yang menemani Ibu Mestika sepanjang hari, orang pertama yang kulihat dapat membuat Ibu Mestika memancarkan sorot mata penuh kasih sayang sarat rindu di matanya.

“Namanya Fardan, nak. Dia putra dari anak angkat ibu, jaga cucu ibu satu-satunya ya nak. Dia masih sungkan tinggal disini, tolong dia ‘Nak” begitu sahut ibu Mestika suatu waktu saat ia bersamaku. Setelah tersebar berita dari obrolan penduduk desa, bahwa pemuda bernama Fardan ini adalah putra dari anak angkat bu Mestika, suami Bu Mestika yang sudah lama meninggal saat aku masih kecil, ternyata memiliki anak angkat yang tinggal dikota, Bu Mestika memang tidak pernah memiliki keturunan. Namun anak angkat Bu Mestika tidak ada yang tinggal di desa ini, semuanya tinggal di kota. Cerita tinggal lah cerita, sampai pada saatnya semuanya terbukti sekarang, putra dari anak angkat Bu Mestika yang tinggal dikota telah tiba di desa ini.

Kami belum pernah bertegur sapa, apalagi bersenda gurau, temanku Indri adalah yang paling dekat dengannya, kurasa. Sehari setelah aku pertama kali melihatnya tiba di desa ini, ia keluar dari mobil yang di kendarainya, seorang diri. Aku terdiam di teras rumahku sambil membawa payung saat melihatnya terburu masuk ke dalam rumah Bu Mestika, hujan saat itu. Bu Mestika langsung menyambut cucunya tersebut dan mengajaknya masuk. Malamnya saat hujan sudah reda, langit belum kunjung cerah. Sehingga bintang yang kunantikan belum juga tampak. Payung yang kusiapkan untuknya mungkin hanya seonggok payung biasa yang tergeletak disudut ruangan. Sampai keesokan harinya ia berkeliling desa bersama Indri temanku, aku bahkan tidak memiliki kesempatan untuk berkenalan dengannya.

****

Setiap hari yang kulalui seharusnya menjadi hari yang biasa, hari yang menyenangkan dengan aroma tanah bekas hujan dimalam hari. Atau matahari yang benderang terik seperti biasanya saat pagi hari. Namun sejak kedatangannya di desa ini, aku merasakan hal yang tidak biasa.

Fardan akan membantu Bu Mestika, di ladang saat pagi hari, membantu memasukkan dendeng yang di jemur kedalam rumah menjelang sore, dan terkadang aku melihatnya kembali dari tajuk di desa kami selepas isya.

Kami tidak pernah bertemu secara langsung, aku hanya melihatnya dari teras rumahku. Pernah suatu saat ia memergokiku sedang melihatnya. Sebenarnya aku ragu, ia melihatku, atau melihat bunga yang sedang kurawat di halaman rumahku, saat bertemu pandang.. aku hanya menunduk malu, dan aku tidak tahu kelanjutannya, karena setelah itu yang aku lakukan adalah langsung masuk kerumahku.

Setelah hampir dua minggu aku menjalani rutinitasku seperti biasa, aku merasa risih untuk mengganti hal yang sedang kulakukan jika bertemu dengannya. Hingga akhirnya sepulang mengajar anak-anak. Aku bertemu dengannya di persimpangan jalan antara rumahku dan padang ilalang tempatku bermain semasa aku kecil. Hujan. Fardan. Untuk sesaat aku hanya terdiam melihatnya kehujanan, namun karena hanya aku yang membawa payung dan hanya ada aku pula disekitarnya, mau tak mau aku menghampirinya.Tapi tanpa aku sadari, ternyata aku tidak membawa payung. Payung yang aku kira bersemayam didalam tasku ternyata tidak ada, aku menjadi kikuk karena aku sudah hampir setengah jalan menuju tempatnya berada. Dengan berbagai pertimbangan selama beberapa saat, akhirnya aku menghampirinya. Tempatnya berada adalah gubuk tua yang sudah lama ditinggalkan namun masih ada atap untuk berteduh.

Ia tersenyum saat aku menghampirinya. Dengan kikuk ia memegang tas berisi sayuran dan mengelap tangannya yang terkena rintik hujan berkali-kali.
“Kamu tinggal di sebelah rumah nenekku ‘kan?” katanya mengawali percakapan.
“Iya,” aku hanya dapat mengatakan kata itu, karena aku bingung untuk bertanya apa padanya.
“Fardan” serunya memperkenalkan diri, tanpa menawarkan tangannya untuk disalami. Karena kedua tangannya sibuk mencari cari sesuatu didalam tas yang tengah ia pegang.


_Bersambung
hana zm Web Developer

Thursday, January 17, 2013

I Love You



I love you, for every chances you could look to me
I love you, for every breathtaking moves you make
I love you, for every goodbye you always  say sweetly
I love you, for always being no body but yourself
 I love you, to be the reason I need to fighting for
Aku mencintaimu, untuk setiap kesempatan kau dapat melihatku
Aku mencintaimu, untuk setiap gerakan yang kau buat
Aku mencintaimu, untuk setiap perpisahan yang kau ucapkan dengan manisnya
Aku mencintaimu, untuk selalu menjadi siapapun kecuali dirimu sendiri
Aku mencintaimu, untuk menjadi alasan yang harus kuperjuangkan
hana zm Web Developer

Thursday, January 10, 2013

every morning is precious


a morning is more precious, if you turn off your mobile in the night.
forget the device, and spend the whole morning like people used to,
nowadays people forget how to spend the morning without barely looking to their device.
open your door and see the sky freely with your barely eyes
morning sky is beautiful, and always will be.



don't turn on your mp3, just feel the morning breeze silently without no music content to it.
the nature sound. With no harm.

Langit pagi setelah angin kencang kemarin malam,
Langit pagi itu selalu indah, dan patut disyukuri
The sky in the morning after high winds last night,
Morning sky is always beautiful, and worth to be thankful for




+Nature
hana zm Web Developer