"Dua kali seminggu
petugas dari kantor desa akan rutin mengontrol saluran irigasi yang bulan
kemarin sempat tertimpa tanah longsor” paparnya padaku siang tadi.
Jadilah aku tahu pekerjaan
apa yang hendak Fardan jemput ke desa ini. Dan betapa malunya aku saat mengetahui
bahwa ia pasti lebih tahu banyak tentang tanaman obat yang ada di depan
rumahku. Aku mengiba mengapa ia bahkan tidak berkata bahwa dirinya adalah
lulusan dari jurusan pertanian.
Atau bahkan sejak awal saat
kami membereskan kebun di belakang rumah nenek, aku tidak menyimak bahwa ia
pernah mengatakan beberapa hal singkat tentang tingkat kesuburan tanah yang
terhampar luas di desa ini.
Atau mungkin hanya diriku
saja yang kurang memperhatikan setiap hal yang diucapkannya seminggu ini, aku
yakin pernah mendengar banyak hal tentang ‘holtikultura’ darinya saat kami
mengeringkan biji-biji cabai.
Aku pasti memperhatikan
hal lain saat itu, entah itu suaranya, caranya berbicara, atau caranya menatap
nenek yang tanpa lelah menyiapkan bebagai macam makanan untuk kami di siang
hari.
Aku merasakan pikiranku
mulai hilang fokus akhir-akhir ini. Asalkan di sekitarku ada dirinya, ia seolah
secara otomatis menjadi hal paling utama untukku. Terlebih saat bayangan semu
dirinya yang sering hadir di dalam mimpiku, menggantikan mimpi konstan tentang ayahku.
****
“Ibuku bilang Fardan mau menetap disini,” seru
Indri temanku.
“Berapa lama?” Tanya Rida
membelalak ingin tahu.
“Mmm, mungkin selamanya”
jawabnya lagi riang sambil mengangkat bahu.
Aku berpikir mungkin
Fardan akan memberitahuku jika saja aku tanyakan padanya tentang kepastiannya
tinggal di desa ini.
Dan aku tidak akan
memikirkan hal yang lebih jauh lagi setelah mendengar percakapan Indri dan Rida
di depan koperasi tadi. Tentu hal yang tidak mungkin kulakukan, aku takut Fardan
berpikir aku terlalu ikut campur pada urusannya. Tidak akan. Tidak akan pernah
kutanyakan hal-hal yang sekiranya akan mengganggu dan terkesan mencampuri
urusan pribadinya. Akan kututup rapat saja rasa penasaran ini. Sampai disaat ia
akan memberitahuku dengan sendirinya.
****
“Fardan, kau akan tinggal
di desa ini berapa lama?” aku melongo mendengar suaraku yang tanpa izin keluar
begitu saja dari mulutku. Aku menyentuh
pipiku yang pasti memerah malu. Dan kini akibatnya ia menghentikan aktivitasnya,
kemudian membalikkan sepenuhnya badannya kearahku.
“Mungkin, lebih lama lagi.
Kenapa , Aruna ?” sahutnya sambil menyimpan tang tanaman yang tadinya sedang ia
gunakan di teras depan rumah nenek.
Aku mengerjap tanda tak sabar
menyudahi pembicaraan ini, tapi lagi-lagi sebuah suara tak asing yang tanpa
izin ini keluar begitu saja dari mulutku.
“Aku hanya penasaran,
dengan yang akan kau lakukan di desa ini, dalam jangka panjang.. sambil ..
selain tinggal bersama nenek” aku tertahan mendengar suaraku sendiri. Dan tidak
sempat berpikir apa reaksi selanjutnya yang akan Fardan katakan.
Ia menatapku curiga,
menyibak bagian atas rambutnya lalu duduk di teras di depan tempatku berdiri.
“Hei Aruna, itu kalimat
paling panjang yang pernah kau katakan saat berbicara denganku” ujarnya
tersenyum.
Satu tarikan nafas. Satu tarikan
nafas bahkan, kalimat tanpa izin yang kau maksud itu keluar dari mulutku dalam
satu tarikan nafas.
”Melakukan hal yang sangat
ingin kulakukan sejak lama” ujarnya santai lalu tersenyum lama sambil
menatapku.
****
Entah apa yang aku lakukan
terhadap pikiranku. Kadang ia berjalan tidak sesuai dengan keinginanku.
Dan aku tanpa sengaja
membiarkan pikiranku terbuka, mulai dari senyum atau gerakan riang yang rasanya
tidak perlu kulakukan.
Sampai percakapan atau
pertanyaan yang tidak pernah aku rencanakan sebelumnya.
Jika ini tentang cinta, kau
lebih baik membiarkannya terjadi tanpa harus merencanakannya terlebih dahulu.
“Hei Aruna, itu kalimat paling panjang yang pernah kau katakan saat berbicara denganku” ujarnya tersenyum.
ReplyDeletesama saja dengan :
“Hei eneng, cerpen ini adalah kalimat paling panjang yang pernah kau katakan saat berbicara denganku” ujarku tersenyum.
cerpen ini seperti mengajak berbicara kepada pembacanya..mengajak tersenyum saat aruna tersipu malu dan bertingkah laku di luar kendalinya..pengarangnya pandai sekali menggambarkan ciri2 orang yang sedang jatuh cinta..jadi penasaran cerita selanjutnya
aaaak ~ thankyou ~~
Delete