Mengapa warna langit tidak hijau? mengapa harus biru? mengapa malam itu gelap pada awalnya, dan benderang pada akhirnya?
Namun ajaibnya aku tetap
menyukai hal tersebut tanpa harus tahu mengapa semua hal tercipta seperti itu.
***
Duniaku berkisar di sebuah
desa nan jauh dari perkotaan, duniaku penuh dengan bintang dalam arti
sebenarnya, malamku beredar dengan kerlip melimpah, terlihat jelas bagai
perhiasan di kalung sang malam. Duniaku sepi tanpa hingar bingar kendaraan,
tanpa kelap kelip lampu menara pemancar sinyal, yang ayahku bilang desa ini
perlu semua hal itu untuk dapat
‘terjangkau’ dari luar daerah tempat kami tinggal.
Aku suka tinggal di sini,
saat sebagian besar dewasa muda seumuranku berusaha mencari mata pencaharian
yang lebih baik dengan pergi keluar desa, aku lebih suka disini, melihat malam
dengan mata telanjang, melihat pagi dengan mata kesilauan akan cahaya matahari,
tanpa ada aling-aling gedung kecuali hamparan luas padang ilalang terbentang.
Aku percaya aku bukan
sebatang kara, kakek dan nenekku telah bertahun meninggal, begitu pula ibuku,
namun ayahku yang tinggal di kota kadang menjengukku ke sini. Di desa yang
sangat beliau benci, desa yang manakala saat berkunjung kemari selalu ia
keluhkan masalah sinyal dan jambannya. Berkali ia memintaku pindah, pindah ke
tempat tinggalnya dikota, kota asing yang sama sekali tidak aku ingat walaupun
aku dilahirkan disana. Kini penduduk desa pikir aku sendirian, aku sebatang
kara, sejak ayahku tidak pernah kemari lagi, itupun 4 tahun lalu.
Aku sama sekali tidak
mendapat kabar tentang ayahku sejak saat itu, aku tahu bahwa ayahku tinggal
dikota, aku tahu alamatnya, ayahku pernah menyimpan alamat tempat tinggalnya di
samping meja tidurku sebelum beliau pergi. Namun aku tidak mau, aku tidak mau mencarinya,
bukannya aku takut tersesat jika kesana, aku hanya takut sebagian mimpi
terburuk tentang ayahku terwujud saat aku kesana.
Bertahun rasioku
berkecamuk dengan perasaanku, untuk pergi atau tidak pergi ke tempat ayahku,
Namun ayahku tidak pernah memaksaku kesana, walaupun ia pernah memintaku untuk
tinggal bersama keluarganya. Semakin memikirkannya aku semakin sedih, karena
mengingat betapa sedikitnya hal yang aku ketahui tentang ayahku.
Hal tersebut berbanding 1:10000 jika
dibandingkan dengan pengetahuanku tentang desa ini. Aku mencintai tempat ini,
lebih dari apapun sekarang, entah desa ini membawaku ke mana, namun desa ini
tidak mengingatkanku tentang masalalu, karena sejak kecil yang kuanggap sebagai
masalalu pun tetap menjadi masa sekarang, aku tidak pernah berpindah tempat
dari desa ini, hal aneh namun memikat yang bahkan membuatku heran karena mampu
memerintahku dan melupakan segala dilema yang ada untuk pergi menemui ayahku di
kota.
Tidak ada satu hal pun
yang dapat menggangguku untuk segala hal yang dapat aku miliki tentang desa
ini. Kini aku mengabdi pada desa ini, dipagi hari aku akan melihat banyak orang
beramai-ramai pergi ke ladang, anak-anak beramai-ramai menuju ‘gubuk’ yang kami
jadikan sarana, dan di sore hari aku akan melihat anak-anak berlarian
menyelamatkan diri dari rintik hujan yang kian menderas dibawah pelepah daun
pisang menuju rumah mereka masing-masing. Aku seorang guru.
Aku mencintai desa ini,
dengan semua hal yang ada didalamnya. Rumput ilalang yang kian tinggi, ladang
yang kian ranum buah-buahannya, sawah yang kian menguning, dan sungai yang kian
indah percik airnya. Begitu juga dengan penduduknya, yang selalu tersenyum dan
bertegur sapa saat hari cerah dan tidak hujan. Dan bintang.
Segalanya. Sampai hati dan
jiwa ini hilang diri mungkin raga ini hilang kendali. Hanya karena bertemu
dengan dia. Dia yang bahkan bukan berasal dari desa ini. Bukan orang dengan profesi
serupa denganku. Mengalihkanku akan bintang nan indah setiap malam, atau lembut
rumput ilalang yang kian kering di hangat senja.
Kepala desa bilang ia
kemari untuk merawat Bu Mestika, Ibu Mestika sudah tua, usianya hamper sepertiga
abad, sepengetahuanku Ibu Mestika tidak perlu di tunggui setiap harinya, ia
masih sehat di usia senja. Ia tetanggaku
yang paling dekat, Ibu Mestika sangat akrab dengan keluargaku. Sampai Kakek kemudian
nenekku meninggalpun Bu Mestika lah yang selalu menemaniku. Sehingga aku
seperti sekarang, gadis yang masih lajang, dan belum tahu dengan siapa ia
seharusnya. Sampai aku bertemu dengannya.
Aku sendiri tidak pernah
tahu jika Ibu Mestika memiliki seorang anak, apalagi cucu, yang membuat
pengetahuanku tentang keluarga Ibu Mestika selesai sampai disitu, bahwa Ibu Mestika
tidak punya keluarga, mungkin empat bulan lalu aku dapat menemani Ibu Mestika
yang sebatang kara. Aku dan seorang wanita tua yang sama sekali tidak
merepotkan hidup bersama-sama, dua orang wanita terpaut usia yang sebatang kara
namun hidup berdampingan. Dan kepahitan dunia tidak akan menjadi masalah apapun
bagi kami. Membayangkannya saja membuatku tersenyum, pikirku aku memiliki
seorang teman untuk menjalani hidupku yang indah ini.
Sampai ada dirinya, yang
menemani Ibu Mestika sepanjang hari, orang pertama yang kulihat dapat membuat
Ibu Mestika memancarkan sorot mata penuh kasih sayang sarat rindu di matanya.
“Namanya Fardan, nak. Dia
putra dari anak angkat ibu, jaga cucu ibu satu-satunya ya nak. Dia masih
sungkan tinggal disini, tolong dia ‘Nak” begitu sahut ibu Mestika suatu waktu
saat ia bersamaku. Setelah tersebar berita dari obrolan penduduk desa, bahwa
pemuda bernama Fardan ini adalah putra dari anak angkat bu Mestika, suami Bu Mestika
yang sudah lama meninggal saat aku masih kecil, ternyata memiliki anak angkat
yang tinggal dikota, Bu Mestika memang tidak pernah memiliki keturunan. Namun
anak angkat Bu Mestika tidak ada yang tinggal di desa ini, semuanya tinggal di
kota. Cerita tinggal lah cerita, sampai pada saatnya semuanya terbukti
sekarang, putra dari anak angkat Bu Mestika yang tinggal dikota telah tiba di
desa ini.
Kami belum pernah bertegur
sapa, apalagi bersenda gurau, temanku Indri adalah yang paling dekat dengannya,
kurasa. Sehari setelah aku pertama kali melihatnya tiba di desa ini, ia keluar
dari mobil yang di kendarainya, seorang diri. Aku terdiam di teras rumahku
sambil membawa payung saat melihatnya terburu masuk ke dalam rumah Bu Mestika,
hujan saat itu. Bu Mestika langsung menyambut cucunya tersebut dan mengajaknya
masuk. Malamnya saat hujan sudah reda, langit belum kunjung cerah. Sehingga
bintang yang kunantikan belum juga tampak. Payung yang kusiapkan untuknya
mungkin hanya seonggok payung biasa yang tergeletak disudut ruangan. Sampai
keesokan harinya ia berkeliling desa bersama Indri temanku, aku bahkan tidak
memiliki kesempatan untuk berkenalan dengannya.
****
Setiap hari yang kulalui
seharusnya menjadi hari yang biasa, hari yang menyenangkan dengan aroma tanah
bekas hujan dimalam hari. Atau matahari yang benderang terik seperti biasanya
saat pagi hari. Namun sejak kedatangannya di desa ini, aku merasakan hal yang
tidak biasa.
Fardan akan membantu Bu Mestika,
di ladang saat pagi hari, membantu memasukkan dendeng yang di jemur kedalam
rumah menjelang sore, dan terkadang aku melihatnya kembali dari tajuk di desa
kami selepas isya.
Kami tidak pernah bertemu
secara langsung, aku hanya melihatnya dari teras rumahku. Pernah suatu saat ia
memergokiku sedang melihatnya. Sebenarnya aku ragu, ia melihatku, atau melihat
bunga yang sedang kurawat di halaman rumahku, saat bertemu pandang.. aku hanya
menunduk malu, dan aku tidak tahu kelanjutannya, karena setelah itu yang aku
lakukan adalah langsung masuk kerumahku.
Setelah hampir dua minggu
aku menjalani rutinitasku seperti biasa, aku merasa risih untuk mengganti hal
yang sedang kulakukan jika bertemu dengannya. Hingga akhirnya sepulang mengajar
anak-anak. Aku bertemu dengannya di persimpangan jalan antara rumahku dan
padang ilalang tempatku bermain semasa aku kecil. Hujan. Fardan. Untuk sesaat
aku hanya terdiam melihatnya kehujanan, namun karena hanya aku yang membawa
payung dan hanya ada aku pula disekitarnya, mau tak mau aku menghampirinya.Tapi
tanpa aku sadari, ternyata aku tidak membawa payung. Payung yang aku kira
bersemayam didalam tasku ternyata tidak ada, aku menjadi kikuk karena aku sudah
hampir setengah jalan menuju tempatnya berada. Dengan berbagai pertimbangan
selama beberapa saat, akhirnya aku menghampirinya. Tempatnya berada adalah
gubuk tua yang sudah lama ditinggalkan namun masih ada atap untuk berteduh.
Ia tersenyum saat aku
menghampirinya. Dengan kikuk ia memegang tas berisi sayuran dan mengelap
tangannya yang terkena rintik hujan berkali-kali.
“Kamu tinggal di sebelah
rumah nenekku ‘kan?” katanya mengawali percakapan.
“Iya,” aku hanya dapat
mengatakan kata itu, karena aku bingung untuk bertanya apa padanya.
“Fardan” serunya
memperkenalkan diri, tanpa menawarkan tangannya untuk disalami. Karena kedua
tangannya sibuk mencari cari sesuatu didalam tas yang tengah ia pegang.
_Bersambung
wow..ini cerpen bagus sekali..top (y)
ReplyDeletejadi ingin baca kelanjutannya sampai di perkenalan xixixi
tapi sepertiga abad itu masih muda lho..dirikyu juga sepertiga abad dan belum saatnya punya cucu..xixixi