2018 tahun yang berat bagiku, ketika pujaan hatiku, mamah, tidak membersamai
kami lagi di kefanaan ini.
Kesimpulannya, aku berubah dan tidak akan pernah jadi orang
yang sama dengan sebelumnya lagi. Ini momen titik balik terbesar dalam hidupku,
dan instead of everything that ever happened to me, this is the hardest path
that I would ever walk on, days without those lively existence.
Sudut pandangku sebagai beragam peran manusia pun berubah, sebagai
hamba alloh, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai guru, bahkan sebagai anak
perempuan pun berubah, karena dia mengajarkanku segala hal, kecuali hidup
tanpanya. Mungkin secara tidak langsung sudah mengajarkan, tapi, masih buram,
vivid dan tidak begitu stabil untuk kujalani. I need a closure, a closing time,
to think. Tapi waktu berpikir gabisa kita biarkan berjalan sambil hal lainnya
tidak berprogress, yg kuingat, dan masih ku yakini, sebagai orang yang masih
hidup, masih banyak hal di dunia ini yang harus kita urus, terlebih tentang
akhirat, rumah abadi kita.
Hal pertama yang terbersit di hari hari awalku tanpa kehadiran
‘fisik’ bersama mamah adalah, kita harus meneruskan apa yang mamah suka
lakukan, apa yang mamah perjuangkan, dan apa yang mamah khawatirkan. Percaya atau
tidak, semua orang belum tentu tahu, apa yang sebenarnya sedang kita lakukan,
yang paling tahu hanya aku dan Alloh, semua orang bisa menilai kita leha leha,
santai, bahagia. Padahal mereka tidak tahu apa yang ada di batin kita, pikiran
kita, siapa, harus melakukan apa.
Jika ditanya apakah aku baik-baik saja, mungkin aku akan
baik kembali, suatu hari. Tapi aku sudah dewasa, dan perasaanku tidak perlu berada
dalam tingkat baik-baik saja agar segalanya berproses, dan berprogress, itu hal
pertama yang kupelajari ketika mamah tidak membersamai kami. Aku berpikir apa
yang dia lakukan ketika nenekku, meninggal. Aku tahu setiap sorot matanya
melihatku, itu bukan pandangan yang baik baik saja. Aku tidak bertanya, aku
terlalu bodoh saat itu. Yang kutahu, ketika nenekku meninggal, ia sangat
terpukul, ia sendirian dikamar, ketika saudara saudarinya mengurus nenek, mamah
ada dikamar.
Ketika hari itu tiba, Mamah menghadap Robbunna, aku tidak
bisa melakukan hal itu, aku harus tetap waras, dengan cerminan yang baik,
Robbuna mencintai mamah, sayang sekali dengan mamah, aku punya waktu seumur
hidup untuk menangisi betapa inginnya mamah disini bersamaku, tapi tidak hari
ini, tidak di hari ini, ketika Robbuna menetapkan bahwa ini harinya, aku harus
menjadi orang yang paling waras hari itu, aku harus menyiapkan perisitirahatan
terbaik, ternyaman, yang selalu bisa kuingat sampai aku mati, hari itu. Semuanya
harus berjalan dengan baik tanpa memberatkan yang punya hajat, almarhumah
mamahku tercinta. Aku tidak boleh meraung raung manja, sebagai jasad yang masih
hidup dan masih mampu untuk berpikir segalanya harus berjalan lancar dihari
itu, walaupun seperti orang gila, aku berhasil menelpon kakakku, kerabat,
saudara, kerabatku di sekolah, berita ini. Alhamdulillah, jasad cintaku
disemayamkan di makam keluarga kami. Insyaalloh, kami semua telah melakukan apa
yang kami bisa pada hari itu. Insyaalloh, mamah tidak akan malu.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete