“Fardan” serunya
memperkenalkan diri, tanpa menawarkan tangannya untuk disalami. Karena kedua
tangannya sibuk mencari cari sesuatu didalam tas yang tengah ia pegang.
“Aruna”
“Apa?”
“Namaku Aruna” seruku
lebih keras.
“Namamu.. ”
“Baru pertama kali dengar?
Atau masih asing?” tanyaku tersenyum, hal biasa yang aku hadapi sejak kecil.
Awalnya mereka asing dengan namaku. Namun karena aku tidak pernah pergi dari
desa ini, pasti mereka tidak asing lagi dengan namaku. Kecuali pemuda di depan
ku yang satu ini.
”Bukan, aku biasa
mendengar tentang dirimu dari nenekku, tapi terasa berbeda saat kamu yang
menyebutnya” serunya. Aku tidak mengerti apa maksudnya, aku hanya tersenyum
sewajarnya. Dan kembali terdiam menghadap hujan untuk berhenti. Sempat hening, mungkin
sebenarnya aku yang giliran berbicara, karena aku yang terakhir diberi
pernyataan. Tapi aku terlalu kalut untuk mengatakan sesuatu. Ini jauh lebih
sulit jika dibandingkan dengan saat mengajar atau bersosialisasi dengan warga
desa. Sangat sulit.
“Aruna” katanya lagi. Aku
hanya menoleh padanya, sulit untuk terfokus memandang kearahnya, apalagi saat
terasa ada kupu-kupu di dalam perutmu yang menggelitik untuk keluar setiap kali
mendengarnya menyebut namamu.”Hujan sudah agak reda, ayo kita kembali” sahutnya.
***
Terdiam melihat ranting
yang patah terinjak, tergeletak ditengah padang rumput lembap. Sudah dua hari
sejak terakhir kali aku bertemu Fardan di ujung jalan yang diguyur hujan. Saat
itu aku sampai dirumah dengan penuh rasa heran, heran karena saat ia mengajakku
beranjak pergi dari sana, ternyata ia membawa payung. Payungku. Entah dari mana
ia mendapatkannya. Aku hanya mengerjap melihatnya membentangkan payung itu,
berbagi payung denganku. Pada keheningan hujan yang konstan tanpa percakapan
manusia. Sampai akhirnya di depan rumahku, ia menyerahkan payung itu seraya
berkata “Payung ini sepertinya terjatuh dijalan saat kau pergi, aku menunggumu
di jalan tadi karena aku pikir kalau kau pulang pasti lewat sana”. Jelasnya,
setelah berterimakasih dan ia pun berpamitan, aku menyentuh perutku yang
menahan kupu-kupu yang ingin keluar. Jadi, cucu Ibu Mestika yang tinggal di
kota ini, membantu neneknya di desa membelikan sayuran ke pasar dengan pulang
pergi berjalan kaki, menemukan sebuah payung dengan tag-name ‘Aruna’ dan
menungguku pulang di seberang jalan tanpa menggunakan payung itu untuknya
sendiri. Ajaib, bukan ?
***
Jika di dunia ini manusia
dapat menghitung seluruh bintang di alam semesta, atau melakukan teleportasi
dengan sekejap mata, tentu manusia tidak akan berusaha keras untuk mendapatkan
sebuah kesempatan. Kalau saja di dunia ini manusia diberi kemauan
sedapat-dapatnya. Tentu tidak akan ada sebuah koinsidensi bernama 'kebetulan'.
Daya pikir manusia berawal dari melihat suatu hal yang kecil terlebih dahulu.
Seperti disaat sebuah 'kebetulan' datang, manusia akan berpikir bahwa disaat
kau menemukan seorang yang berarti untukmu, itulah yang dinamakan 'kebetulan'.
Tanpa peduli mungkin yang sang pencipta maksud adalah 'takdir'
Jika kapasitas manusia
hanyalah berharap, maka segala yang dapat terjadi adalah kuasa tuhan.
Aku menyerah akan apa yang
tuhan karuniakan padaku, sehingga tanpa kusadari rasa yang kumiliki terasa
sakit tak berarah.
Aku menyukai dia, tanpa
ada yang menyadari, satu-satunya yang menyadari perasaanku padanya hanyalah
rasa rendah diriku. Rasa rendah diriku terlalu menguasai diriku sehingga
mengungkapkan hal yang sesungguhnya kurasakan adalah mustahil.
Fardan datang ke desa ini
tanpa ada yang tahu alasannya kenapa. Berbagai berita yang simpang siur
wara-wiri di desa hanyalah bahwa pemuda ini menghabiskan waktu liburannya
dengan mengunjungi neneknya.
Mungkin beberapa orang
tidak peduli dengan alasan tersebut. Karena berapa lamapun ia tinggal disini,
sama sekali tidak menjadi masalah untuk warga desa. Mereka menyukai cucu Ibu Mestika
itu. Fardan mudah bergaul dan dapat bercakap-cakap dengan siapa saja. Tanpa sadar ia telah menghabiskan satu bulan
'liburan' nya di desa ini.
Aktivitasnya di desa yang
belum berkembang seperti kebanyakan warga di desa membuatnya memiliki banyak
waktu luang. Di sore hari jika tidak hujan ia akan keluar melihat anak-anak
bermain di lapangan. Kadang aku melihatnya bermain bersama anak-anak. Suatu
pemandangan asing di desa kami, mengingat hanya segelintir kawula muda saja
yang ada di desa ini. Seperti yang pernah kubilang, bahwa orang orang seusia
remaja di desaku sudah pergi ke kota untuk mencari mata pencaharian yang
menurut mereka lebih baik dari pada bertani.
Sehingga memiliki orang
dewasa yang mengajak anak-anak bermain bersama adalah sebuah kegembiraan bagi
mereka.
Tanpa sadar aku merasa
kesepian.
Untuk pertama kalinya aku
dapat merasakan rasa bahagia saat dapat menemui orang yang kau sukai setiap
harinya. Namun kesepian. Karena aku selalu menghindar darinya setiap saat,
melihat tawanya dari kejauhan dan merasa lega saat menyadari aku tidak ketahuan
sedang memperhatikannya. Aku melakukannya semata-mata untuk kebaikan semua
orang.
Aku menyukai Fardan.
Begitu juga setiap gadis
yang masih ada di desa ini. Setiap gadis berlomba untuk mendapatkan
perhatiannya, setiap hari. Aku bukannya mengaku lebih rendah dari mereka.
Kurasa kami berada di lingkungan yang sama, tumbuh dewasa bersama-sama yang
membedakan hanyalah silsilah keluargaku yang tidak murni berasal dari desa ini.
Dan keadaanku yang kini. Sebatang kara.
Gadis-gadis di desa tentu
mendapat segala dukungan dari ayah dan ibu mereka untuk mendapatkan simpati
Fardan. Segala hal. Aku bahkan pernah memergoki Ibunya Indri membeli banyak
sekali perangkat kosmetik, aku tahu itu bukan untuknya. Tapi untuk Indri. Indri
sahabat sejak kecilku yang sama sekali tidak pernah senang menggunakan pakaian
layaknya anak perempuan. Aku tahu persis hal itu. Namun siapa sangka, jika
cinta mengetuk segalanya akan berubah, dan aku tahu bahwa setiap sahabat
wanitaku di desa ini telah jatuh cinta padanya. Fardan.
"Aruna" aku
mendongak melihat orang yang sedang berdiri di depanku. Untuk sesaat wajahnya
tidak jelas terlihat karena bias matahari yang pekat ditengah siang. Fardan.
Aku segera menyimpan parang yang sedang kupakai untuk mencabut rumput di
kebunku dan langsung berdiri.
"Ya ?" sahutku.
Aduh, bisakah lebih dari sekedar ya?
"Nenekku demam dan
tidak mau makan, bisa kau bujuk dia?"
Aku mengerutkan dahi dan
langsung menuju ke rumahnya tanpa berkata apapun lagi. Jadi itu alasannya
mengapa Bu Mestika tidak keluar rumah sejak kemarin. Aku marah padanya. Kalau
memang Bu Mestika sakit kenapa Fardan tidak bilang dari kemarin? Pikirku
cucunya ini dapat menangani keluhan sakit neneknya ini.
Aku menyentuh dahi Bu Mestika,
panas. Ia menggigil dalam selimut tanpa sadar bahkan untuk melihatku datang
mengunjunginya. Sebelum Fardan datang ke desa ini aku biasa menghabiskan waktu
bersama Bu Mestika. Ia sudah seperti nenekku sendiri. "Bu Mestika hanya butuh
istirahat. Makan makanan yang mudah dicerna, dan mandi air hangat setiap kali
ingin mandi" celotehku pada Fardan. Aku menjelaskan banyak hal pada Fardan
tentang kondisi fisik Bu Mestika. Kami sempat mengambil beberapa tanaman obat
untuk dicampur dengan air mandi nantinya. Aku juga sempat menjelaskan banyak
hal tentang tanaman obat yang ada di halaman depan rumahku untuk dimanfaatkan
sebagai berbagai obat tradisional.
"Kamu lebih cocok
jadi cucu dari nenekku ketimbang aku sendiri" ia menoleh dengan tatapan
penuh tanya kearahku. Aku hanya terdiam sesaat dan tersenyum kearahnya. Kami
sedang membuat bubur sumsum. Makanan yang sangat disukai Bu Mestika. Yang
sekaligus sangat baik untuk kesehatan pencernaannya.
_Bersambung
misteri payung xixixi
ReplyDeletearuna dan fardan..
aku suka cerpen ini terutama kalimat :
Jika di dunia ini manusia dapat menghitung seluruh bintang di alam semesta, atau melakukan teleportasi dengan sekejap mata, tentu manusia tidak akan berusaha keras untuk mendapatkan sebuah kesempatan. Kalau saja di dunia ini manusia diberi kemauan sedapat-dapatnya. Tentu tidak akan ada sebuah koinsidensi bernama 'kebetulan'. Daya pikir manusia berawal dari melihat suatu hal yang kecil terlebih dahulu. Seperti disaat sebuah 'kebetulan' datang, manusia akan berpikir bahwa disaat kau menemukan seorang yang berarti untukmu, itulah yang dinamakan 'kebetulan'. Tanpa peduli mungkin yang sang pencipta maksud adalah 'takdir'
wow..penasaran ingin baca bagian 3 nya
yeaay ~~
Delete